Kamis, 30 Januari 2014
Minggu, 26 Januari 2014
i call it "quality time"
"mabit kan ukh?" suara salah seorang akhwat tiba2 membatalkan rencana saya menghabiskan sepanjang malam di kost tercinta. memang harus mabit, mau cari alasan apa lagi. disana sedang repot, kok malah pergi. awalnya ingin menolak karena memang sedang tidak sehat. tapi melihat wajah penuh harap itu... (ga boleh egois). setelah pulang ke kost sebentar untuk siap2, saya kembali ke rumah itu dan langsung menuju kamar paling belakang. pusing. ya sudah mumpung masih belum sibuk, istirahat sebentar saja. tentu saja tidak benar-benar istirahat. nggak bisa, pusing banget. tidak lama, ada suara orang membuka pintu "wah ngantuk? bubuk yang nyenyak yaa". mungkin dia heran, masih jam berapa ini sudah tidur. entahlah, masih sadar waktu itu. hanya saja belum sanggup menoleh, menimpali obrolannya. seperti sebuah jarum jam yang berputar seiring rotasi bumi, mencari tempat yang paling pas untuk meletakkan kepala. sejenak diam. loh kok ada yang ngasih jaket, kapan ya? daritadi memang tidak bisa diam. nyamuk yang semakin banyak karena musim penghujan membuat suara suara kecil dari tepukan tangan sedikit mengganggu. "izzah pake selimut dulu kalau kedinginan". "dia digigitin nyamuk, ini pakai soffe* aja". "izzah jangan minggir minggir gitu nanti kepalanya kebentur". "ayo izzah makan dulu, tadi kan belum makan, mau disuapin?". izzah ini itu.. yang diajak ngobrol cuma diam saja. tetap memejamkan mata, sesekali mengerjap ngerjap. duduk dengan kepaladidongakkan, kemudian menyahut kecil. "nggak usah". serentak yang ada di kamar sedikit berteriak "hei makan dulu".
saya kadang lupa. betapa berharganya keluarga ini. berkali-kali harus diingatkan. jika pernah aku pergi, tentu kalian tetap akan menjadi tempatku kembali.
Read More
saya kadang lupa. betapa berharganya keluarga ini. berkali-kali harus diingatkan. jika pernah aku pergi, tentu kalian tetap akan menjadi tempatku kembali.
Sabtu, 18 Januari 2014
dongeng sebelum tidur
hamparan dandelion cantik selalu memanjakan mata. seperti lautan awan. putih, cantik sekali. seorang gadis kecil terlihat tengah berlarian. melepaskan genggaman tangan perempuan muda di sampingnya. berkali-kali terantuk batu, kemudian tetap berlari seolah sakit itu tidak ada apa-apanya dibanding serbuan dandelion yang tertiup angin. indah sekali memang. sesaat ia menoleh kebelakang. mengisyaratkan senyum bahagia kepada wanita itu, "ibu, aku suka tempat ini". tentu saja, siapa yang tidak suka berada di tengah dandelion-dandeilon ini. tidak cukup hanya dengan dibayangkan. kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya sebelum dirimu benar-benar berada di sana. hidden love. begitu orang-orang menyebutnya. cinta yang tersembunyi. berada di balik lembah kecil di ujung desa, tempat ini memang tidak mudah ditemukan. tapi percayalah, seberat apapun usahamu untuk mencapainya, dengan mudah akan terbayarkan. lihatlah, siapa yang tidak tergoda dengan bunga ini. lembut dan cantik. gadis kecil terus saja berlari, hingga ditengah padang ini ia berhenti. menjulurkan tangan kecilnya, memegang dandelion dan kemudian.. "nanaaa sebentar sayang". ibunya memanggil dari jauh. tergopoh-gopoh menghampiri nana kecil. nana menjauhkan tangannya dari dandelion. memandang tidak mengerti.
"ibu kenapa lari", nana bertanya heran.
"nana mau memetik dandelionnya?, ibu tersenyum melihat putrinya urung mematahkan bunga itu dari tangkai.
"iyaa, nana suka bunganya. mau dipetik buat oleh-oleh nenek. pasti nenek suka".
"kira-kira nana tahu nggak siapa yang menanam dandelion sebanyak ini disini?"
nana hanya menggeleng, memperhatikan lamat-lamat apa yang akan dikatakan ibunya
"yang nanam angin, sayang. dandelion yang terbang terbang itu dijatuhkan angin di tanah. dandelion kecil yang sendirian, kepanasan, capek karena diajak jalan-jalan sama angin, harus hidup terpisah dari ibunya. nggak kayak nana. eh tapi dandelion nggak pernah mengeluh loh, nggak pernah berhenti berusaha biar tetap bisa tumbuh."
"yang nanam angin, sayang. dandelion yang terbang terbang itu dijatuhkan angin di tanah. dandelion kecil yang sendirian, kepanasan, capek karena diajak jalan-jalan sama angin, harus hidup terpisah dari ibunya. nggak kayak nana. eh tapi dandelion nggak pernah mengeluh loh, nggak pernah berhenti berusaha biar tetap bisa tumbuh."
"lah kok dandelion hebat ya bu, kayak superman"
"iya dong, soalnya dandelion tahu. kalo dia menyerah, terus ga bisa tumbuh, jadi bunga mati, nggak ada yang diterbangkan angin lagi dong. nggak ada dandelion dandelion lain disini. tempatnya jadi nggak cantik kayak sekarang."
"berarti kalo nana petik, nana bawa pulang, nanti ga bisa tumbuh ya bu? ga ada dandelion baru?"
"iya sayang, gimana nih masih pengen diambil buat oleh-oleh?"
"nggak ah, nanti kalo nana sudah besar nggak bisa kesini lagi dong, nggak ada dandelion. biarin aja ah dandelionnya, difoto juga sudah bagus, ya kan bu?"
"pintar deh nananya ibu.."
kadang, ketika kita menginginkan suatu hal. tidak otomatis kita bisa mendapatkannya. dan itu sudah sangat biasa terjadi di kehidupan ini, bukan? bahwa ada sesuatu yang memang tidak bisa kita miliki.
*quote yang akhir-akhir ini sering mampir di hp*
"Mencintai tak berarti harus
memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan org yang kita cintai.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah
kberanian. Atau mempersilakan. Yg ini pengorbanan."
salim a fillah
Rabu, 15 Januari 2014
diam bukan berarti tak peduli
entah sejak kapan mulai merindukan (kembali) udara pagi kota ini. kota tempat ibu lahir dan tumbuh. nganjuk. tentu saja bukan sudut yang saat ini kulihat. sudut yang mulai dipenuhi gedung bertingkat. lama sekali tidak menyambangi rumah itu. rumah yang halamannya saja bisa ditempati 4 mobil standar. yang kebun belakangnya bisa dibangun beberapa rumah berukuran cukup besar. semenjak ibu meninggal, kepemilikan rumah telah dipindahtangankan. dijual. rumah yang telah membekaskan banyak cerita. gadis kecil berumur 4 tahun yang terbiasa hidup di kota, beberapa saat harus merasakan suasana desa yang jauh berbeda. tentu saja rasanya ingin segera pulang. ya, begitulah aku, 16 tahun yang lalu.
kali ini, di bagian berbeda, di kota yang sama. aku merasakan aroma itu kembali. duduk di belakang sepeda kayuh, membiarkan wajah diterpa angin. malunya, aku tidak bisa menyembunyikan wajah bahagiaku, senyum yang selalu mengembang melihat bocah-bocah berebut membeli makanan. tentu ini bukan pertama kalinya aku berkeliling. sudah sering. tapi sungguh berbeda, ketika biasanya hanya duduk di dalam mobil, meihat dari kaca jendela, dan angin tidak bisa menyapa wajah. ternyata aku baru saja bangun dari mimpi. menemukan bahwa kenyataan jauh lebih indah. langit yang berpihak, menghadirkan mendung untuk menemani sepanjang perjalanan. rok yang menari-nari, menandakan betapa senangnya angin bertemu denganku (:p ). ya, senang sekali rasanya. berbicara pada diri sendiri. suatu saat aku ingin mengulangi hari seperti ini. sedikit berimajinasi :p .keindahan tidak hanya ketika cahaya baru saja merekah. namun juga ketika bulan menggantikan untuk menemani malam kita. tetap dengan sepeda kayuh yang sama. sedikit lebih lengkap dengan tetesan hujan. lebih romantis, kata orang. belasan tahun mengunjungi kota ini, baru sekarang berkesempatan menikmati hujan di atas kayuhan sepeda. sepertinya aku sedang jatuh cinta.
aku tidak peduli betapa berlebihannya senyum yang tergambar. aku memang sedang merangkaikan kenangan, yang mungkin saja suatu saat akan membuatku kembali di sini. "sudah, tinggal di sini saja". entahlah, (lagi lagi) secuil do'a itu hanya bisa meng-aamiin-i nya, do'akan saja :')
sedikit oleh oleh dari nganjuk
Read More
kali ini, di bagian berbeda, di kota yang sama. aku merasakan aroma itu kembali. duduk di belakang sepeda kayuh, membiarkan wajah diterpa angin. malunya, aku tidak bisa menyembunyikan wajah bahagiaku, senyum yang selalu mengembang melihat bocah-bocah berebut membeli makanan. tentu ini bukan pertama kalinya aku berkeliling. sudah sering. tapi sungguh berbeda, ketika biasanya hanya duduk di dalam mobil, meihat dari kaca jendela, dan angin tidak bisa menyapa wajah. ternyata aku baru saja bangun dari mimpi. menemukan bahwa kenyataan jauh lebih indah. langit yang berpihak, menghadirkan mendung untuk menemani sepanjang perjalanan. rok yang menari-nari, menandakan betapa senangnya angin bertemu denganku (:p ). ya, senang sekali rasanya. berbicara pada diri sendiri. suatu saat aku ingin mengulangi hari seperti ini. sedikit berimajinasi :p .keindahan tidak hanya ketika cahaya baru saja merekah. namun juga ketika bulan menggantikan untuk menemani malam kita. tetap dengan sepeda kayuh yang sama. sedikit lebih lengkap dengan tetesan hujan. lebih romantis, kata orang. belasan tahun mengunjungi kota ini, baru sekarang berkesempatan menikmati hujan di atas kayuhan sepeda. sepertinya aku sedang jatuh cinta.
aku tidak peduli betapa berlebihannya senyum yang tergambar. aku memang sedang merangkaikan kenangan, yang mungkin saja suatu saat akan membuatku kembali di sini. "sudah, tinggal di sini saja". entahlah, (lagi lagi) secuil do'a itu hanya bisa meng-aamiin-i nya, do'akan saja :')
sedikit oleh oleh dari nganjuk
Selasa, 07 Januari 2014
apa kabar, langit?
apa kabar, langit?
masihkah bersemu merah ketika ku tengadahkan wajah kearahnya?
menyibakkan tetes demi tetes hujan ke arahku
mirip seperti percikan sebuah rindu
apa kabar, langit?
bisakah kau berikan aku siang yang panjang?
sepanjang hujan sore ini menemaniku
agar malam tak lagi membuatku melupakan pelangi
apa kabar, langit?
mengapa tak pernah menjawab pintaku?
membiarkan diriku terlelap bersama bulan
membiarkanku menari bersama hujan
ketika kau tanya "mengapa aku selalu menengadahkan wajah?"
aku sedang tenggelam dalam rayuan hujan
ketika kau tanya "mengapa aku selalu menunggu malam?"
sebab aku sedang merindukan bulan
namun bulan tetaplah bulan
yang hadirnya hanya ketika malam menjelang
dan hujan hanyalah hujan
yang ia sendiripun tak tahu selama apa akan bertahan
aku tetap merindukanmu, langit
yang membuatku selalu memilih teduh
dimana teduh tidak pernah hadir bersama malam
dimana teduh tidak pernah berjalan bersama hujan
ya, aku memilih teduh
bukan bulan, bukan hujan
Minggu, 05 Januari 2014
sekelumit harapan
(tidak) dikejutkan dengan telepon pagi ini. memang sudah rutinitas bapak menyempatkan menelepon semua putra-putri beliau setiap pagi. meski hanya untuk sekedar bertanya menu sarapan. memaksa menyadarkan diri. ya, masih mencoba membuka mata dengan sempurna. tidak terlalu pagi sebenarnya. membuka obrolan dengan menceritakan kejadian kemarin. pertemuan perdana. proses ta'aruf yang sedang dijalani kakak. sebagai satu-satunya orang di rumah yang agak mengerti bagaimana seharusnya ta'aruf itu, saya sering diprotes mengapa tahap itu begitu rumit. dan hey saya kan belum pernah menjalaninya -_- entahlah seperti apa ke-riweuh-an proses satu ini. hanya manggut manggut ketika bapak menjelaskan apa saja yang terjadi hari itu. saya benar-benar tidak tahu loh. semakin melebar saja pembicaraan kami. sampai pada kriteria calon menantu bapak. sebentar, ini maksudnya sedang membicarakan calon saya yang sekarang belum ketemu, gitu? waaah. hanya bisa tertawa. sudah waktunya diajak ngobrol seputar itu yaa, sudah gede berarti. kriteria besar bapak. sederhana sekali sebenarnya, satu-satunya kriteria yang wajib dimiliki calon menantu beliau, yang lainnya opsional deh :p tiba-tiba terpikir mengajukan pertanyaan. bagaimana jika nanti saya tidak tinggal di surabaya? tentu saja dengan beberapa alasan. saya ingin punya sekolah alam pak, dan sepertinya di surabaya sudah tidak memungkinkan toh, bisa jadi saya tinggal di luar kota nanti. kami dari keluarga guru. sudah sejak lama bapak ingin putrinya mengabdikan diri untuk pendidikan. tentu saja beliau sangat senang jika alasan saya adalah itu. meski nanti akan sedikit jauh domisilinya. sama seperti ketika saya mengutarakan keinginan untuk menjadi pengajar muda. antusiasme beliau saat mengatakan mendukung justru membuat saya semakin ragu jauh dari rumah. entahlah perasaan egois tiba-tiba saja berputar-putar di otak. ya, seperti lari dari sesuatu. rasanya masih banyak yang harus dituntaskan disini. apapun yang terjadi nanti, saya harap tidak ada seorangpun yang menyesal. ketika memang diizinkan Allah untuk pergi ke suatu tempat, tolong jangan ada yang diam-diam merindukan saya dan ingin saya cepat kembali, wkwkwk *ngawur*
Read More
Rabu, 01 Januari 2014
indescribeable moment
Benar benar agenda yang tak terencana. Karena terlalu
rindu, tiba tiba saja saya mengetikkan beberapa kalimat dan mengirimnya ke
kontak grup di hp. ayok upgrading. Begitu intinya. menyiapkan segala yang
dibutuhkan meski masih pekan depan agendanya. Dan manusia memang hanya bisa
berencana. Beberapa hari saya terbaring di atas tempat tidur. sakit. dan apa
saja yang saat itu sedang saya siapkan, berhenti seketika. nggak ada a, b,c,
dan lain lain. Bismillah saja, seadanya. Sempat akan dibatalkan pula, karena
yang konfirmasi bisa hadir hanya beberapa. Tapi kami tidak bisa menunggu lagi,
mau sampai kapan ditunda? apapun yang terjadi, kami berniat tetap melanjutkan.
*morning, when spirit suddenly appear
Jam 7.30 yaa. Saya masih ingat betul angka angka
tersebut saya tulis berulang. Sekali lagi ingin menegaskan. Jangan molor. Dan sekarang? Bukankah seharusnya
mereka datang 1 jam yang lalu? Wow. Satu per satu mulai nampak, bagaikan
barisan sebuah grup, tanpa sadar separuh dari kami memakai paduan warna biru,
dan separuhnya, pink. Oke setalah menunggu sekian lama, kami berangkat menuju tempat itu. Jalanan lengang sekali. Beginilah
Surabaya, selalu sepi kalau tanggal merah. Penghuninya mengungsi. Sampai disana beberapa orang sempat heran, di Surabaya ada
ya yang seperti ini? Berkeliling mencari tempat yang pas, kami memilih
melingkar di pinggir danau. Ditemani langit yang mendung, pagi ini teduh
sekali. Dimulai dengan sebuah game truth
or dare. Sudah kehabisan ide, jadilah permainan ini saya rasa cocok. Berdalih
menjadi panitia, saya tidak ingin diikutkan dalam game ini. Tentu saja karena resikonya besar. Namun alasan itu tidak
cukup untuk menyelamatkan diri. Dengan
segala rayu dan paksa, saya pun menuruti mereka untuk tetap ikut memainkannya. Awal
yang bagus tentu saja, karena bukan saya yang pertama kali harus memilih truth or dare. Heboh sekali permainan
ini, tawa dimana-mana. Ternyata kehebohan lebih besar justru terjadi di orang
kedua yang harus memilih truth or dare.
Dan orang itu adalah, saya. Jelas-jelas saya katakan memilih tantangan, namun
mereka serentak menolak. Ya tentu saja, yang sudah menyiapkan tantangan itu
adalah saya. Dengan wajah setengah pasrah saya mengiyakan permintaan mereka. Truth. Saya ingat benar raut muka
orang-orang di depan saya saat menyebutkan pertanyaan yang harus saya jawab
dengan jujur, “mb, pertanyaannya adalah : mb izzah lagi suka sama siapa?”
happaaaaaaaaaaaaaaaaa? Tiba tiba ingin sekali saat itu juga hujan deras, agar
saya tidak perlu menjawab pertanyaan yang mereka sebutkan. Reflek menutupkan
kedua tangan di muka sambil berulang kali mengatakan “ga mau jawab, jangan”. Apa-apaan
ini, bercanda yaa, tentu saja saya tidak akan pernah mengatakannya. Karena terlalu
lama saya mengelak, akhirnya terdengar beberapa orang menyebutkan beberapa nama
berbeda “oh mas ini ya mbak?”. Oh meeen
yang benar saja. Meski namanya disebut pun, saya akan tetap mengatakan tidak.
menjelaskan dengan hati-hati akhirnya membuat mereka menyerah menanyakannya. Tapi
hmm, ada sedikit clue yang saya tinggalkan, no prob, mereka tidak akan tahu
haha. Setelah permainan berjalan begitu lama, tiba saatnya bertukar kado. Jelas
bukan acara utama. Karena setelah itu, mereka akan mengerti ada di bagian mana
acara utamanya.
Saya meminta mereka memjamkan mata, menggenggam
tangan saudarinya. Sambil memutar sebuah lagu favorit saya. Dimulailah refleksi
perjalanan kami di setengah kepengurusan ini. Hening. Di sekitar kami memang
banyak orang lalu lalang. Namun hening sekali di dalam lingkaran. Mengucap banyak
terima kasih mereka sudah mau bertahan meski jalannya tek pernah mudah. Bahwa kami
memang tak pernah meminta menjadi satu bagian, namun keluarga ini sungguh tak
bisa digantikan. Terdiam. Tak mampu meneruskan, suara saya bergetar. Sudahlah, tangis
ini memang saatnya dikeluarkan. Genggaman itu semakin erat. Meminta maaf jika
sampai saat ini tak mampu menjadi sosok yang mereka harapkan. Apapun yang
terjadi, saya menyayangi kalian semua, keluarga kecil annisaa :’) . Semoga dengan diiringi rintikan gerimis, ukhuwah itu menjadi semakin erat. Rindu itu semakin sering muncul. Ingatlah bahwa tidak pernah ada yang namanya berjuang sendiri. aku, kamu, kita, adalah satu keluarga..
Langganan:
Postingan (Atom)